Kamis, 24 September 2015

Kenangan Awal Tahun 2014

Di akhir tahun 2013, ayahku mendapat cuti panjang karena bosnya yang sedang keluar negri bersama keluarganya, ayahku yang bekerja sebagai supir pribadi otomatis mendapatkan libur karenanya, aku sangat senang karena ayahku akan ada setiap harinya dirumah menjelang akhir tahun. kami sekeluarga pasti akan menghabiskan waktu seharian untuk menonton acara televisi dan seharian dikamar bersamanya hanya untuk sekedar bercerita keseharian kami atau menceritakan khayalan-khayalannya ketika anak-anaknya sukses nanti.

2 minggu setelah menjalani liburnya, ayahku memutuskan untuk pulang ke palembang, kota dimana beliau dilahirkan, sekalian mengantarkan nenekku kembali ke Palembang karena nenek memang tinggal di Palembang.
Pagi itu seperti pagi biasanya, aku kesiangan untuk berangkat ke kantor karena aku tau akan ada ayahku yang mengantarkan aku hingga naik angkutan umum. tapi entah kenapa pagi itu aku sangat egois, aku ingin ayahku mengantarku sampai stasiun, yang agak terlalu jauh dari rumahku. tidak hanya itu, aku pun menjadi mendadak sangat perhatian dengannya, melihat helmnya yang sudah sangat kusam, melihat sudah lusuhnya jaket motornya, sehingga aku berfikir aku akan segera membelikannya yang baru ketika aku terima bonus akhir tahunku.
Beliau pun bersedia mengantarkanku sampai stasiun, walaupun agak protes pada awalnya. Sepanjang perjalananan tidak biasanya dia hanya diam saja, biasanya dia selalu bercerita panjang lebar, menanyaiku ini itu hingga memberikan aku nasehat dan petuah-petuahnya. Tapi hari itu dia diam saja, dan aku pun hanya memandangi punggungnya yang sedang mengendarai motor, aku ingin sekali memeluknya, jadi akupun memeluknya. setibanya di depan stasiun ketika aku turun dari motor, dia terus memandang ke depan, ke jalanan, dengan muka tanpa ekspresi dia mengingatkanku untuk berhati-hati ketika naik kereta, karena aku sering bercerita padanya jika kereta dari bogor sangat penuh, hingga masuk pun aku perlu mendorong orang yang didalam, sehingga aku dapat ruang untuk memasuki kereta tersebut, beliau yang mendengar itu pun menjadi ikut khawatir padaku. beliau berpesan sebelum aku masuk kedalam stasiun, ” berhati-hatilah nak, jaga dirimu baik-baik”, aku pun mengangguk dan berlalu masuk kedalam stasiun.

Hingga aku sampai dirumah setelah bekerja seharian, tiba-tiba aku mencari ayahku, aku lupa bahwa hari itu setelah mengantarku ke stasiun, beliau pergi ke Palembang untuk mengantarkan nenekku pulang dan beliau memutuskan untuk liburan disana selama 2 minggu.

Di minggu pertama dia menginap di Palembang setiap hari setelah pulang kerja beliau selalu menelpon ku sekedar untuk bertanya aku sudah sampai dirumah atau belum, bercerita bagaimana beliau disana mengunjungi seluruh keluarga yang sebelumnya sangat jarang ia kunjungi. ia sangat semangat bercerita tentang kampung halaman mama yang ia datangi dan memancing disana hingga mendapat banyak sekali ikan. Ayahku yang mempunyai riwayat penyakit jantung dan masih rutin meminum obatnya mengeluh kepadaku kalau ia kehabisan obatnya disana dan belum membelinya. Aku yang khawatir mendengar itu pun memaksanya agar ia mau membeli obatnya dan aku akan mentransfer sejumlah uang kalau ia kekurangan uang disana.

Seminggu setelah ia menginap disana, ia mulai hilang kabar, tidak pernah menelpon mamaku dan anak-anaknya. Mengangkat telepon atau sekedar membalas sms ku pun tidak dilakukannya. Akan tetapi, ketika ia dihubungi oleh kakak sepupuku, ia pun menjawabnya tanpa memakan waktu yang lama. Hingga akhirnya ia yang menghubungiku sendiri karena ia ingin pulang ke Jakarta dan meminta petunjukku untuk memesankan tiket pesawat pada hari sabtu. Aku pun sangat senang mendengarnya dan menyuruhnya agar segera memesan tiket tersebut.

Ketika hari sabtu itu tiba, siang hari, aku dan ibuku menghadiri acara pernikahan sepupu ku di dekat rumah. pernikahan tersebut diadakan dirumah dengan sederhana dan banyak dihadiri oleh orang-orang dekat, sehingga aku dan mama larut dalam pembicaraan dengan orang-orang tersebut. Tiba-tiba ada telepon masuk dari saudara dari ayahku di Palembang, mama agak sensitif dengan keluarga ayah tersebut sehingga membiarkan ponselnya tersebut berdering tanpa mengangkatnya. Tidak lama kemudian, tiba kakak dari mama menelpon ke ponsel mama, dan segera diangkat oleh mama.

Dan bagaikan disambar petir siang hari bolong, mama mendapat kabar dari keluarganya kalau ayahku tidak bisa bangun dari tempat tidur karena vertigo tetapi keluarga menyuruh kami jangan khawatir karena mereka akan segera mengurus ayahku dan mengantarnya kerumah sakit. Seketika itu mendapat kabar kami langsung pulang dan mama memesan tiket pesawat sore itu juga untuk segera pulang ke Palembang. Sore itu aku mengantar mama langsung ke terminal kampung rambutan untuk naik damri, aku memesan kepada mama agar ayahku diberikan perawatan terbaik, dan aku belum bisa pulang karena aku masih harus kerja keesokan harinya.

Setibanya di Palembang, mama memberi kabar kepadaku kalau ayahku baik-baik saja, dia sepertinya kena struk ringan tapi tidak ada kelumpuhan apapun pada tubuhnya, hanya cara bicaranya yang agak sedikit “cadel”. Aku terus berdoa kepada Allah agar ayahku diberikan kesembuhan seperti sedia kala, karena aku berifikir tanpa ayah, bagaimana dengan kehidupan kami, aku sebagai anak pertama dengan gaji yang tak seberapa masih belum mampu membiayai sekolah kedua adikku.

Setiap hari mama selalu memberiku kabar terbaru tentang keadaan ayahku yang semakin lama semakin membaik, sudah hampir seminggu dia berada di rumah sakit dan mama berkata bahwa ayahku selalu menanyakan bagaimana kabarku di Jakarta, apakah aku diberikan liburan akhir tahun, karena ia takut adik-adikku tidak ada yang mengurus dirumah.
Malam tahun baru 2014, aku merayakan tahun baru dirumah kakak sepupuku yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Malam itu ayahku menelponku menanyakan bagaimana aku melewatkan tahun baru malam itu, biasanya kami sekeluarga merayakan tahun baru dirumah dengan cara berkumpul bersama dan menonton film bersama dirumah dan juga membeli camilan untuk teman nonton kami hingga larut malam. Tapi malam itu aku bersama adik-adikku melewatkan tahun baru disana dengan orang-orang sekitar rumah kakakkku  karena mereka mengadakan panggung untuk merayakan tahun baru.

Hari-hari berikutnya aku mendapatkan kabar dari mama kalau ayahku dan mama akan segera pulang ke Jakarta, ayahku setuju untuk melakukan pengobatan di Jakarta, keluarga mama pun sudah menyiapkan kursi roda dan tiket pesawat untuk pulang pada hari Sabtu, aku sangat senang mendengarnya.

Hari Jumat, ayahku sudah pulang dari rumah sakit dan akan bermalam di rumah nenek, sebelum keesokan harinya akan pulang ke Jakarta, pada malam itu ayahku menelpon ku mengatakan dia akan segera pulang ke Jakarta karena di Palembang tidak banyak persediaan darah seperti yang kereta-kereta yang ada di jakarta *Ayahku penggemar berat permainan “Medal of Honour” permainan militer pada play station, pada permainan itu untuk mengisi kekuatan tentara tersebut harus mencari persediaan darah di kereta-kereta dan tempat tersembunyi lainnya*. Mendengar itu aku segera bersemangat untuk menyuruh dia pulang karena aku akan bersedia menemani ia seharian untuk memainkan permainan tersebut. Aku sangat bahagia dan aku rasa aku bisa tidur nyenyak malam itu.

Keesokan paginya, om ku yang tinggal di dekat rumah berteriak di depan pagar untuk membangunkan aku, untungnya aku tidur dikamar depan sehingga bisa mendengar teriakan om ku. Aku segera membuka jendela dan menanyakan ada apa. Om ku mengabarkan bahwa aku dan adik-adikku harus segera pulang ke Palembang, tapi dia enggan memberikan alasan kenapa aku harus segera pulang kesana. Aku bersikeras bahwa aku tidak perlu pulang ke Palembang karena ayahku dan mama akan pulang hari itu juga, jadi aku hanya perlu menunggu di rumah. Om ku semakin bersikeras juga bahwa aku diharuskan pulang bersama adik-adikku, perasaan yang tidak enak langsung menjalar ke seluruh tubuhku. Aku langsung meraih handphone ku dan segera menelpon mama. Mama mengangkatnya, tapi dia hanya diam saja tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya terdengar hembusan nafasnya yang berat. Saat itu juga aku menyuruh adikku bangun dan segera bebenah untuk saat itu juga pulang ke Palembang.

Karena hari itu masih dalam hitungan tahun baru, kami kesulitan mendapatkan tiket, sehingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang dengan travel. Sepanjang jalan aku hanya menangis dan berdoa semoga sesuatu yang buruk tidak terjadi pada ayahku, karena hanya ia satu-satunya laki-laki yang bisa aku andalkan, dan aku belum bisa membayangkan apa yang terjadi jika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Sesampainya di lampung kami dijemput oleh adik mama yang tinggal di lampung, om ku mengantarkan kami untuk naik mobil berikutnya ke Palembang. Selama di perjalanan om ku hanya berpesan kepadaku untuk sabar menghadapi semuanya, aku agak tidak terima dengan perkataannya, aku menolak menerima kenyataan bahwa telah terjadi sesuatu dengan ayahku, aku mau ayahku baik-baik saja, aku kesana hanya akan menjemputnya untuk kembali ke Jakarta. Aku hanya percaya kalau ia bisa kembali bersama kami.

Pada keesokan paginya, jam 6 pagi kami sudah sampai di Rumah Sakit Charitas Palembang. Aku langsung menuju kerumah sakit karena aku tidak berniat sama sekali untuk tinggal dimanapun, aku hanya ingin menemani ayahku dan Mama kemudian menjemputnya pulang. Ketika turun dari mobil, adik mama yang tinggal di Palembang segera menjemput kami dan mengantarkan kami dimana ayahku dan mama berada.

Sampailah kami di depan ruangan yang bertuliskan ICU, mama ku yang duduk di depan ruangan tersebut langsung menghambur memeluk kami. Aku pun masih bingung karena tidak tau apa yang sedang kuhadapi, kami tidak bisa melihat papa karena ICU punya jadwal tersendiri untuk melihat pasien, jam 9 Pagi kami baru bisa masuk ke ruangan ayahku.
Mama bercerita padaku, ketika pulang papa baik-baik saja dan sangat sehat, dia juga terus menerus turun dari tempat tidur untuk latihan berjalan, malam itu setelah menelpon ku ia berkata bahwa ia ingin sekali makan es kacang merah, dan mama menuruti semua keinginan dia malam itu, setelah itu ia tertidur. Sebelum subuh mama sudah bangun dan ayahku juga bangun, ia terus mengatakan ia ingin sholat karena selama sakit tubuh nya tidak bersih dan ia tidak bisa sholat, ia takut Allah marah padanya. Ketika adzan shubuh berkumandang, ayahku menyuruh mama diam, karena ia ingin mendengar adzan subuh dengan baik. Selesai adzan subuh berkumandang, tiba-tiba ayahku kejang-kejang dan tidak sadarkan diri lagi setelah itu.

Pukul 09.00, dengan langkah yang seperti melayang, aku memasuki ruangan ICU mengikuti mamaku dari belakang, sepanjang penglihatanku, disana terdiri dari tempat tidur yang dihuni oleh orang-orang yang hampir semuanya terpasang banyak alat ditubuhnya, satu persatu mereka yang tidur disana di datangi keluarganya yang bermuka muram dan tidak sedikit yang menangis, sangat tidak menyenangkan berada didalam sana, malah lebih terlihat mengerikan. Ruangan ayahku berada di pojok ruangan dekat dengan jendela. kuhampiri tubuh ayahku yang tidak berdaya disana, tubuhnya dipasang berbagai macam alat dan juga terdapat selang besar dimulutnya. Tubuhku lemas memandangnya. Ayahku yang selama ini sehat dan selalu ceria, selalu meledekku dan bercanda, bahkan sangat kuat dan kadang terlihat agak menyeramkan di depan teman-temanku, sekarang dengan mata tertutup dan tubuh yang dipasang alat dimana-mana terlihat sangat menyedihkan. Bahkan untuk menyapaku saja beliau tidak bisa. Iya, Beliau koma.

Aku tidak bisa berhenti menangis melihat kondisi ayahku, seketika rasanya seperti mimpi, beliau yang pulang dengan sehat walfiat dan ceria, sekarang terbaring di tempat tidur di ruangan ICU, sungguh tidak bisa dibayangkan. Ayahku hanya bisa memberikan respon dengan gerakan matanya, gerakan tangan juga kakinya. Ketika aku dan adikku menangis sejadi-jadinya, ia langsung menggerakan tubuhnya. Setidaknya ayahku masih bisa merasakan keberadaanku. Aku dan ibuku menemui dokter, Dokter menjelaskan kalau terdapat pembengkakan jantung pada ayahku juga jantungnya dipenuhi air, syarafnya juga agak terganggu sehingga beliau koma, sisanya terlalu banyak yang dijelaskan oleh dokter yang tidak aku mengerti tetapi ia mengatakan kalau fungsi organ lain ayahku baik-baik saja.  Dokter menyuruh kami berdoa semoga ayah kami cepat sadar. Dokter berkata jika ayahku sadar, itu sudah merupakan fase aman baginya.

Hari Berikutnya, Hari senin, Ayahku mulai membaik, walaupun tetap belum sadar, tapi nafasnya sudah tidak kedengaran berat, Jantungnya juga sudah tidak dipenuhi air lagi, dan kondisi lainnya juga sudah normal, hanya menunggu sampai beliau sadar saja. Keluarga kami berdatangan satu persatu untuk memberikan kami dukungan dan doa. Sampai pada hari kedua di Palembang, Kami sekeluarga tinggal di Rumah sakit, kami tidur di lorong depan ruangan ICU, kami sekeluarga tidak ada yang berniat sedikit pun untuk meninggalkan ruangan itu. Kami tidak mau jauh dari ayah kami yang sedang berbaring didalam sana.

Hari ke 3, Hari Selasa, pada jam 09.00 pagi jadwal besuk pagi tiba, seluruh orang-orang yang tinggal di lorong depan ruangan ICU mulai mengantri untuk memasuki ruangan ICU dan mulai masuk satu persatu. Ketika aku masuk dan menghampiri ayahku, disana sudah ada suster yang sedang mengompres ayahku, suster itu bilang kalau ayahku sedang demam. Aku segera menggantikan suster itu dan merawat ayahku, ibuku dan adikku bergantian untuk mengajak ayahku berbicara, mereka terus memberikan semangat supaya ayahku kuat dan bisa cepat kembali sadar. Tidak lama kemudian, dokter memanggil kami, ia bilang kalau jantung ayahku lemah dan pernafasannya juga sudah lemah, mereka menyarankan untuk memasang alat bantuan yaitu ventilator untuk membantu memompa jantung dan paru-paru ayahku, untuk biayanya sekitar 7 juta untuk satu hari pemasangan, tanpa pikir panjang kami langsung mengiyakan saran dokter tersebut, dan Dokter tersebut melanjutkan bahwa untuk ayahku sudah ditambah 3 dokter lagi untuk menanganinya, yaitu dokter jantung, dokter syaraf dan dokter anastesi. Aku sungguh lemah, dan aku selalu meminta Allah SWT agar ayahku diberikan kesembuhan dan bisa kembali pulang bersama kami ke Jakarta. Semenjak sampai dirumah sakit, aku dan ibuku diberikan dukungan oleh orang-orang yang menunggu keluarga mereka juga di dalam ruangan ICU, kami mengalami penderitaan yang sama, maka kami saling menguatkan. kami juga bersama-sama mengurangi tidur kami dan terus meminta pada Allah agar keluarga kami diberikan kesembuhan dan bisa segera pulang dari rumah sakit. Jam besuk sore, jam 16.30, Keadaan masih seperti pagi hari, malah demam ayahku semakin tinggi.

Hari Rabu, Jam besuk pagi, 09.00, Seperti biasa, kami satu persatu memasuki ruangan. Aku melihat ayahku, Demamnya masih tinggi, tangan dan kakinya dingin, dan saat itu jika aku mengatakan sesuatu, ayahku tidak meresponku, dia hanya meneteskan air matanya. Tidak lama kemudian dokter memanggilku dan mamaku, dokter menjelaskan bahwa jantung ayahku sudah benar-benar lemah, begitupula dengan paru-parunya, alat-alat yang dipasang ditubuhnya hanya bisa membantu dan tidak bisa menyembuhkan, karena kerusakan syaraf ayahku sudah mengenai batang otak, dan jika sudah mengenai batang otak maka dia tidak ada harapan lagi. Dokter menyarankan untuk melepas semua alat di tubuh ayahku, karena itu hanya akan menyakiti dia. Jika aku dan mamaku setuju untuk melepas semua alat-alat tersebut, kami disuruh untuk menandatangani pernyataan tersebut. Aku benar-benar seperti disambar petir, Dunia seperti terbalik, aku tidak bisa befikir dan hanya menangis, begitupun mamaku, akhirnya kami meminta waktu untuk berfikir.

Setelah jam besuk berakhir, aku dan mamaku berbicara pada adik-adikku, menjelaskan keadaan ayahku seperti yang sudah dijelaskan dokter. Mereka menangis sangat keras, semua mata di lorong tempat keluarga pasien menatap kami. Mereka sangat paham dengan apa yang akan terjadi pada kami. Mereka pun turun bersimpati. Setelah memberikan pengertian kepada adik-adikku, mereka akhirnya ikhlas dan bersedia menjalani apa yang disarankan dokter.

Pada jam 12 siang, aku dan ibuku menemui dokter, kami menyetujui untuk melepas alat-alat yang terpasang di tubuh ayahku. Dokter terus memberikan dukungan dan harapan kepada kami agar kami tidak berputus asa dan berhenti berdoa, semoga ada keajaiban ketika kami melepaskan alat-alat itu. Dokter juga menyarankan untuk mengumpulkan semua keluarga kami dan berdoa bersama ketika dokter melepaskan alat tersebut, Maka aku dan mama mengabarkan seluruh keluarga kami dan dokter akan memberikan waktu kami berdoa setelah abis sholat magrib.

Pada jam besuk sore, 16.30 aku kembali masuk keruangan, dan melihat ayahku, dia sangat pucat dan badannya sangat dingin. Adik-adikku menangis sejadi-jadinya, begitupun dengan mamaku. Aku sekuat tenaga berusaha untuk menahan air mataku, agar aku bisa menghibur mama dan adik-adikku. aku terus menuntun ayahku dikupingnya untuk mengucap “Laa ilaahailallah”, kepalaku sudah sangat pening karena aku menahan tangisku. Aku harus tegar dihadapan mama dan adik-adikku. Dan aku membisikkan kepada ayahku agar ia tenang disana dan aku berjanji untuk menjaga adik-adikku dan juga mama, aku akan membahagiakan mereka sekuat tenagaku, Aku juga akan berusaha mencapai cita-cita kami, yang ia dan aku sering diskusikan bersama, betapa banyaknya keinginan dan khayalan kami, aku juga akan berusaha menjadi seperti yang diharapkan ayahku. Hari itu benar-benar hari yang sulit yang pernah aku jalani seumur hidupku. Mendengar itu, air mata ayahku menetes.

Tiba saatnya setelah sholat magrib, seluruh keluarga sudah berkumpul. Keluargaku dari seluruh bagian di Sumatera semuanya berkumpul. Mereka menunjukkan penghormatan terakhir mereka untuk ayahku. Ayahku memang orang yang sangat dekat dengan keluarganya dan juga keluarga dari Mama, ia adalah orang yang ramah dan mudah dekat dengan siapa saja, bahkan dengan orang-orang yang baru dikenalnya, semua orang menyukainya karena ia adalah orang yang pandai bergurau, dan juga sering memberikan nasehat kepada keluarga yang lebih muda daripadanya.

Kami semua dipersilahkan untuk masuk dan mulai berkumpul di sekitar tempat tidur ayah, kami mulai berdoa, membacakan Yasiin dan aku terus menuntun ayahku untuk mengucapkan kalimat “Laa ilaha illallah”. suster dan dokterpun datang dan mulai melepas alat-alat dari tubuh ayahku. Setelah dilepas semua, aku terus fokus menuntun ayahku dalam bacaan dan terus juga menciumi pipi ayahku, aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Perlahan-lahan detak jantung dan nafas ayahku mulai menurun, dan terus menurun. Aku masih terus menuntun ayahku di kupingnya, ibuku terus memegang tangan ayahku dan terus membaca doa. Tidak beberapa lama kemudian, Alat pendeteksi jantung dan nafasnya sudah berhenti bergerak. Dokter segera menyatakan kalau ayahku sudah tidak ada. begitu tenang dia meninggalkan kami, tanpa tanda-tanda sedikit pun. Semoga ini pertanda kalau ayahku sudah diampuni dosanya dan dimudahkan Allah dalam mencabut nyawanya. Kami semua berpelukan, ada yang menangis dan ada yang hanya diam tidak percaya. Aku masih memegangi tangan ayahku, sambil berdoa kepada Allah agar Allah mau menjaga ayahku disana. Setidaknya dia tidak merasakan sakit lagi dan bahagia disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar